Oleh: Joni Tri Wahyono, S.Pd
“Fisika itu asyik”, demikian kalimat pendek yang sering dilontarkan Prof. Yohanes Surya, Ph.D. seorang
ahli fisika kelas wahid Indonesia yang sangat getol mengembangkan ilmu tersebut,
dan terkenal dengan konsep fisika Gasing.
Fisika yang selama ini sering
menjadi momok bagi siswa, beliau telah berusaha
mengubahnya menjadi pelajaran yang menyenangkan bahkan semakin digandrungi
siswa. Demikian juga guru sebagai fasilitator pembelajaran harus mampu membuat siswa tertarik untuk terus menggali dan
mempelajari fisika sebagai
fenomena, bukan hanya sekedar
mata pelajaran yang harus ditempuh siswa sebagai
pelengkap kurikulum, namun lebih dari itu sangat tinggi nilai yang terkandung
di dalamnya.
Dari fisikalah sebagian besar penemuan di bidang teknologi berasal,
selain tentunya banyak sekali peristiwa fisika yang ada di sekitar kita namun
kita sering tidak mempedulikannya padahal hal tersebut menjadi awal kelahiran
sebuah penemuan atau setidaknya dari sanalah pemikiran dan ide-ide baru berasal.
Seorang guru hendaknya bisa mengangkat tema kecil yang ada di sekitarnya
sehingga tema itu menjadi menarik bagi sang anak untuk terus digali dan
dikembangkan. Kemampuan guru untuk menciptakan daya rangsang alam fikir anak
inilah yang mempunyai nilai tertinggi dalam proses pembelajaran kita. Dengan
kata lain, guru yang sukses adalah guru yang bisa menggugah daya rangsang
fikiran peserta didik sehingga peserta didik terus haus akan ilmu tersebut.
Kecepatan cahaya misalnya,
adalah fenomena fisika yang menarik
untuk dicermati karena dalam kehidupan kita tidak lepas dari cahaya tersebut.
Cahaya yang memiliki
kecepatan, c = 3 x 108 m/s mengandung arti, dalam satu sekon, cahaya mampu melesat
sejauh tiga ratus juta meter. Kasarnya, jika satu sekon sama dengan satu
kedipan, maka dalam satu kedipan, cahaya menempuh jarak sejauh tiga ratus juta
meter. Fenomena ini menjadi sangat menakjubkan tatkala kita memasukkannya dalam unsur soal
yang dapat memancing logika dan alam fikir siswa. Mereka akan terkagum-kagum dengan ‘keajaiban’ kecepatan cahaya ini. Guru harus memulainya dengan kehidupan nyata yang sederhana
seperti ini. Dengan demikian anak akan semakin senang untuk mempelajari
kompetensi tentang kecepatan yang selama ini dianggapnya tidak menarik.
Siswa hanya butuh rumus sederhana dalam mempelajari
fenomena jarak, kecepatan dan waktu. Setiap hari, sebagian besar siswa menggunakan motor ke sekolah. Dengan memperhatikan speedometer (catatan : kecepatan dibuat tetap) dan waktu tempuh, siswa sudah dapat menghitung
jarak rumahnya ke sekolah. Jarak (s) dapat diperoleh dengan mengalikan kecepatan (t) dan waktu tempuh (t). Sehingga diperoleh formula . Dari formula tersebut, waktu tempuh dapat dicari dengan cara . Dengan membuat contoh seperti ini
akhirnya anak mengganggap ada hubungan antara fisika dengan kehidupan kita
walaupun hal yang kecil dan sederhana.
Memberi contoh dengan peristiwa keseharian
Mari kita cermati keajaiban cahaya dalam beberapa fenomena berikut : Jarak bumi – matahari lebih kurang 150 juta km. Cahaya dengan kecepatannya 3 x 108 m/s dapat melintasi jarak bumi matahari dalam waktu 500 sekon atau 8,33 menit. Dari
sini seorang guru bisa menanamkan nilai karakter akan kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa yang telah menciptakan cahaya dengan segala kemanfaatannya dalam kehidupan
manusia yang begitu agung.
Contoh sederhana berikutnya, siswa bisa diajak berandai dengan jarak penerbangan dari Jakarta (Bandara Soekarno-Hatta) ke
Surabaya (Bandara Juanda) adalah sekitar 691,8 km, dengan
waktu tempuh pesawat kira-kira 1 jam 25 menit. Jika cahaya yang melakukan
perjalanan ini, cahaya hanya membutuhkan waktu 0,002 sekon. . Silakan selanjutnya sang anak diberikan
kesempatan untuk mengembangkan imajinasinya dengan contoh-contoh yang sejenis
yang jumlahnya masih banyak di sekitar kita.
Dibidang transportasi misalnya, Maglev adalah kereta tercepat yang pernah dimiliki Tiongkok,
memiliki kecepatan 430 km/jam atau setara dengan 119,4 m/s. Perjalanan dari
Pudong ke bandara Shanghai hanya memakan waktu delapan menit
(Dahlan Iskan, 2007). Jika kita bandingkan kecepatan Maglev dengan
kecepatan cahaya, diperoleh nilai 1 : 2,5 juta. Artinya, kendaraan darat tercepat
buatan
manusia tersebut belum dapat melampaui keajaiban kecepatan
cahaya, suatu keajaiban yang diciptakan oleh yang maha kuasa.
Demikian juga dengan petir merupakan gejala alam yang biasanya muncul
pada musim hujan di mana di langit muncul kilatan cahaya sesaat yang
menyilaukan dan beberapa saat kemudian disusul oleh suara yang menggelegar. Hal
ini membuktikan bahwa kecepatan cahaya mendahului kecepatan bunyi. Sekaligus
dari peristiwa petir ini, sang siswa bisa diajak bagaimana mengantisipasi kalau
terjadi petir dalam setiap kesempatan dan kondisi yang berbeda-beda. Karena
bisa saja, saat mereka berada di perjalanan, di sawah, di lapangan terbuka
terjadi petir yang bisa mengancam keselamatannya. Dengan demikian, bisa dipakai
untuk mengantisipasi keselamatan dirinya dari ancaman sang petir tersebut
sekaligus sang siswa bisa mengembangkan pengetahuannya tersebut kepada orang
lain.
Kecepatan gelombang elektromagnetik setara dengan kecepatan cahaya. Pada
ranah ini, manusia hanya diijinkan dapat melihat pada spektrum cahaya tampak
saja. Apa jadinya jika manusia mampu menembus sinar gamma ataupun gelombang
radio? Hidup ini indah karena kita hanya mampu melihat cahaya tampak saja.
Hidup akan semakin rumit jika kita mampu melihat gelombang radar, tv, radio berseliweran. Juga bakteri, kuman di
sekitar kita akan membuat kita pusing jika kita mampu melihat dengan mata
telanjang. Akhirnya kita bisa bersyukur dengan tidak dapat melihat semua
fenomena ini berarti mengurangi resistensi kehidupan kita pada alam sekitar
pula. Nilai syukur tertanam melalui pelajaran fisika pula.
Membangun karakter dengan fisika
Dari beberapa peristiwa tersebut, untuk membangun nilai dan keimanan
siswa, guru bisa mengaitkan dengan Peristiwa
Isro Mi’roj Nabi Muhammad
Saw. “Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil
Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Israa’ , 17: 1). Juga dikaitkan dengan Firman
Allah, “Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu
adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. Al-Hajj: 47).
Dari ayat tersebut tampak jelas bahwa perjalanan luar biasa itu bukan
kehendak dari Rasulullah Saw sendiri, tapi merupakan kehendak Allah Swt. Untuk
keperluan itu Allah swt mengutus malaikat Jibril as sebagai pemandu perjalanan
suci tersebut. Dipilihnya malaikat sebagai pengiring perjalanan Rasulullah Saw
dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan melintasi dimensi ruang dan waktu. Selain
Jibril as dihadirkan juga kendaraan khusus bernama Buraq. Nama Buraq berasal
dari kata barqun yang berarti kilat.
Perjalanan dari kota Mekkah ke Palestina berkendaraan Buraq tersebut ditempuh
dengan kecepatan cahaya, sekitar 300.000 kilo meter per detik.
Jarak Mekkah (Masjidil Haram) – Palestina (Masjidil
Aqsha) sekitar 1500 km ditempuh dengan
kecepatan cahaya, maka hanya dibutuhkan waktu sekitar 0,005 detik dalam ukuran
waktu kita di bumi. Perjalanan dilanjutkan menuju langit ketujuh pada saat itu
juga.
Dalam Qs Al Hajj Allah seolah ingin menunjukkan bahwa secara logika 1
hari diakhirat sama dengan 1000 tahun didunia, 3 jam diakhirat sama dengan 125
tahun didunia, artinya 1,5 jam diakhirat sama dengan 62,5 tahun didunia. Itulah
gambaran umum umur manusia dibumi yang rata-rata 60-70 tahun setara 1,5 jam,
maka dalam istilah jawa hidup hanya seperti mampir ngombe, hanya sebentar hidup
di dunia.
Albert Einstein, dengan
konsep Relativitas mampu memberikan gambaran ilmiah terhadap peristiwa
itu. Kajian di atas mengungkapkan teori relativitas dalam dimensi waktu. Adanya
dibatasi waktu yang dipengaruhi oleh gerak relatif, akan berpengaruh juga pada
pengukuran panjang (jarak). Peristiwa pengerutan panjang ini disebut dengan kontraksi
Lorentz, yang dirumuskan dengan 1 – (v2/c2) =
(L’/L)2.
Dengan mengaitkan yang demikian guru bukan sekedar mengajak belajar
fisika secara mentah, namun sang guru telah memberi “isi’ pelajaran fisika
tersebut dengan nilai keimanan, sekaligus mengajarkan bahwa semua ciptaan Allah
Swt tersebut bisa dikaji secara ilmiah. Qun
fayakun bukan berarti Allah Swt mencipta langsung ada (langsung jadi)
seperti photo copy, namun semua itu berproses
secara saintifik.
Sering siswa ketika mempelajari sesuatu belum sampai pada jawabnya sudah
menjawab itu adalah takdir. Mereka tidak mengira bahwa takdir itu adalah sebuah
proses yang diciptakan Allah Swt dalam mencipta suatu makhluk dengan proses
yang ilmiah. Pemahaman jenis ini juga sering tidak dipahami secara utuh.
Barangkali berangkat dari inilah pembelajaran saintifik yang dikembangkan oleh
Mendikbud Prof. M. Nuh, Ph.D. untuk membedakan kurikulum 2013 dengan kurikulum
sebelumnya mengingat beliau juga berasal dari kalangan saintis sekaligus
teknokrat selain ustadz juga.
Luar biasa ketika seorang guru mampu mengajak siswanya untuk berpikir dan
merenung atas segala fenomena yang berkaitan langsung dengan fisika atau dengan
peristiwa alamiah di sekitar kita. Perenungan yang mendalam dapat merangsang
daya kritis yang pada akhirnya membuat siswa menjadikan mata pelajaran ini
‘candu’, bukan sebaliknya malah ditakuti oleh anak.
Siswa terlatih untuk menggali dan mencari mutiara di balik ilmu yang
mereka pelajari. Penggalian ilmu tidak harus dengan teori yang muluk-muluk,
namun bisa dengan peristiwa sekitar dan itu justru akan menarik bagi siswa.
Itulah pelajaran yang konstektual dan saintifik. Semoga dengan ikhtiar yang
sudah dilakukan, dapat melahirkan generasi-generasi unggul yang haus akan ilmu
dan mampu mengembangkannya untuk kebaikan hidup manusia. Dan ingat, masa depan anak
adalah apa yang kita tanam hari ini.
Daftar Rujukan :
Iskan, Dahlan. 2007. Pelajaran dari Tingkok. Surabaya : JP Books.
http://mosleminfo.com/2013/06/05/isra-miraj-dalam-kacamata-sains-modern.html.
diunduh Selasa, 22 April 2014
http://heriwidiyantoro.blogspot.com/2012/07/sains-menyakinkan-kebenaran-isra-miraj.html. diunduh Selasa, 22 April 2014