Perangkat BK

Media bimbingan klasikal yang inovatif meningkatkan keaktifan siswa.

Double Track Tata Busana SMAN 1 Sampung

Proyek penelitian SMA DT keterampilan tata busana dari Dosen UNESA

Inovasi Bimbingan Klasikal

Mengimplementasikan teknologi AR dalam Bimbingan Klasikal.

Sabtu, 30 November 2024

Resiliensi Remaja: Kunci Menuju Indonesia Emas 2045

Visi Indonesia Emas 2045 menandai 100 tahun kemerdekaan Indonesia, dengan harapan negara ini menjadi bangsa yang maju, sejahtera, berkeadilan, dan berdaya saing global. Salah satu elemen kunci dalam mencapai visi ini adalah pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, berdaya saing, dan mampu mengatasi tantangan globalisasi serta disrupsi teknologi. Dalam konteks ini, resiliensi atau kemampuan remaja untuk bertahan dan pulih dari kesulitan menjadi hal yang sangat penting. Tanpa resiliensi yang kuat, generasi muda Indonesia berisiko terhambat dalam mengatasi tantangan dan tidak dapat memanfaatkan peluang yang ada. Artikel ini akan membahas pentingnya resiliensi dalam mempersiapkan remaja untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045 dan bagaimana pendidikan serta pengembangan karakter dapat memperkuat ketahanan mental mereka.

Apa Itu Resiliensi?

Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dan beradaptasi setelah mengalami kesulitan. Pada remaja, resiliensi menjadi kunci untuk menghadapai tantangan hidup yang sering kali datang dalam bentuk tekanan akademik, konflik sosial, atau perubahan emosional yang besar. Remaja yang resilien mampu mengelola emosi mereka, belajar dari kegagalan, dan tetap fokus pada tujuan jangka panjang mereka. Sebaliknya, remaja yang kurang resilien cenderung merasa terpuruk dan kesulitan untuk kembali bangkit setelah menghadapi kegagalan.

Peran Resiliensi dalam Mencapai Indonesia Emas 2045

Untuk mencapai Indonesia Emas 2045, kualitas SDM Indonesia harus meningkat secara signifikan, terutama dalam kemampuan beradaptasi dengan perubahan zaman dan tantangan global. Dalam hal ini, resiliensi remaja memegang peranan penting. Generasi muda yang memiliki ketahanan mental yang baik akan lebih siap untuk bersaing secara global. Resiliensi tidak hanya membantu remaja untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari, tetapi juga memainkan peran besar dalam mereka menghadapi tantangan di dunia pendidikan, dunia kerja, dan masyarakat.

Resiliensi membantu remaja untuk tetap termotivasi meskipun menghadapi rintangan. Mereka yang resilien cenderung memiliki lebih banyak peluang untuk berkembang dan berinovasi, yang sangat dibutuhkan dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan cepat. Di era Industri 4.0 dan globalisasi, kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan sosial sangat penting. Remaja yang resilien mampu mengatasi perubahan ini dengan lebih baik dan memanfaatkan peluang untuk berkembang, bahkan dalam situasi yang penuh tantangan.

Pendidikan Sebagai Katalisator Resiliensi

Pendidikan memainkan peran penting dalam mengembangkan resiliensi remaja. Mengingat tantangan besar yang dihadapi generasi muda Indonesia, seperti kecemasan, depresi akibat dampak negatif media sosial, serta kesulitan dalam beradaptasi dengan cepatnya perubahan teknologi, pendidikan harus menyediakan tidak hanya pengetahuan akademik, tetapi juga pengembangan keterampilan hidup (life skills) dan pendidikan karakter.

Pengembangan resiliensi dapat dimulai dengan membekali remaja dengan keterampilan sosial, pengelolaan emosi, berpikir kritis, dan pemecahan masalah. Pendidikan yang berfokus pada pengembangan karakter akan membantu remaja belajar untuk mengelola stres, memahami emosi mereka, dan melihat kesulitan sebagai kesempatan untuk berkembang, bukan sebagai hambatan.

Beberapa pendekatan yang dapat digunakan oleh pendidik untuk menumbuhkan resiliensi adalah melalui teknik mindfulness dan sosiodrama. Program berbasis mindfulness, misalnya, telah terbukti efektif dalam membantu remaja meningkatkan perhatian, mengelola stres, dan memperkuat ketahanan mental mereka. Teknik bermain peran atau sosiodrama juga membantu remaja untuk belajar berempati, mengatasi konflik, dan menghadapi tantangan secara konstruktif.

Resiliensi sebagai Kunci Inovasi dan Produktivitas

Selain membantu remaja mengatasi kesulitan pribadi dan sosial, resiliensi juga berperan besar dalam mengembangkan inovasi dan produktifitas. Di dunia yang semakin terhubung ini, perubahan teknologi dan sosial terjadi dengan sangat cepat. Oleh karena itu, generasi muda Indonesia perlu memiliki kemampuan untuk beradaptasi, belajar dari kegagalan, dan terus berinovasi.

Remaja yang resilien lebih mampu mengatasi tantangan yang ada, baik dalam dunia pendidikan maupun dalam dunia kerja. Mereka akan lebih terbuka terhadap pendekatan baru, siap untuk belajar hal-hal baru, dan tidak takut untuk gagal. Dengan karakter ini, mereka akan dapat berinovasi dan meningkatkan produktivitas mereka, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada kemajuan bangsa.

Tantangan Sosial dan Ekonomi: Resiliensi Sebagai Solusi

Selain tantangan akademik dan teknologi, banyak remaja Indonesia yang menghadapi kondisi sosial dan ekonomi yang kurang mendukung. Resiliensi sosial, yaitu kemampuan untuk mengatasi kesulitan dalam kehidupan pribadi atau masalah yang berkaitan dengan lingkungan sosial, menjadi sangat penting. Remaja yang resilien dapat mengatasi tantangan seperti kesulitan keluarga, tekanan teman sebaya, dan kondisi ekonomi yang tidak mendukung, serta mampu berkontribusi secara positif di masyarakat.

Ketahanan sosial dan emosional ini penting untuk membentuk remaja yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga memiliki kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi dalam kondisi yang penuh tantangan.

Membangun Generasi Resilien untuk Indonesia Emas 2045

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, pengembangan resiliensi remaja harus menjadi bagian integral dari kebijakan pendidikan dan program-program pengembangan karakter. Pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan resiliensi pada remaja. Melalui pendidikan yang mengintegrasikan pembelajaran akademik dengan keterampilan hidup dan karakter, Indonesia akan menciptakan generasi muda yang tidak hanya tangguh, tetapi juga inovatif dan mampu bersaing di tingkat global.

Dengan generasi muda yang resilien, adaptif, dan inovatif, Indonesia akan memiliki modal manusia yang kuat untuk menghadapi tantangan masa depan dan mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Sebuah bangsa yang tidak hanya maju dalam bidang teknologi dan ekonomi, tetapi juga mampu menjaga kesejahteraan sosial dan mental warganya.

Tulisan tersebut merupakan intisari dari artikel prosiding yang saya kirimkan dalam Seminar Nasional Manajemen Pendidikan 2024 Departemen Administrasi Pendidikan-Prodi S3 Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Malang 

Disiplin Positif: Ini yang bisa dilakukan guru BK

Pada Februari 2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan Kurikulum Merdeka yang membawa banyak perubahan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kurikulum ini terinspirasi oleh pemikiran filosofis Ki Hajar Dewantara yang mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses menuntun anak untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya. Dalam konsep ini, pendidikan harus bebas dari ancaman, hukuman, atau perundungan yang membuat anak merasa takut saat belajar. Salah satu aspek penting dari Kurikulum Merdeka adalah penerapan disiplin positif, yang sangat relevan dengan peran Guru Bimbingan dan Konseling (BK).

Apa itu Disiplin Positif?

Disiplin positif adalah pendekatan dalam mendidik siswa untuk melakukan kontrol diri tanpa menggunakan hukuman atau ancaman. Pendekatan ini berfokus pada pemberian penguatan positif dan pembentukan kepercayaan diri siswa melalui pengajaran nilai-nilai kebajikan. Dalam kurikulum merdeka, kedisiplinan diharapkan muncul dari kesadaran dan keyakinan diri siswa, bukan karena rasa takut akan hukuman. Disiplin positif dikembangkan dan dipromosikan oleh Jane Nelsen, seorang psikolog dan penulis buku terkenal Positive Discipline. Ada 6 pendekatan dalam penerapan disiplin positif: 1) Pendekatan pertama yakni menggunakan konsekuensi yang logis dan alami yang menjadi cara untuk memenangkan hati murid; 2) memahami bahwa murid memiliki 4 tujuan dari perilaku tidak taat; 3) menggunakan kebaikan dan ketegasan di waktu yang bersamaan ketika menghadapi sikap ketidaktaatan murid; 4) mengizinkan murid dan guru memiliki relasi yang saling menghormati dan membangun; 5) mengembangkan pertemuan orangtua dengan murid untuk mendukung efektifitas penanganan sikap ketidaktaatan; 6) menggunakan dorongan yang menginspirasi murid untuk mengoreksi diri sendiri (Nelsen, 2006; as cited in Burden, 2013).

Relevansinya dengan Choice Theory dan Reality Therapy (William Glasser)

Tokoh yang mengaitkan konsep disiplin positif dengan teori William Glasser, khususnya teori Choice Theory dan Reality Therapy, adalah Diane Gossen. Diane Gossen adalah seorang pendidik dan konselor yang mengembangkan konsep "Restitution" (pendekatan restoratif) dalam disiplin positif, yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Glasser.

Gossen mengadaptasi teori Choice Theory dari William Glasser, yang menyatakan bahwa perilaku manusia didorong oleh kebutuhan dasar untuk merasa diterima (belonging), merasa memiliki kekuatan (power), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan keamanan (survival). Dalam konteks disiplin positif, Gossen menerapkan pendekatan ini untuk membantu siswa memahami alasan di balik perilaku mereka dan memberi mereka kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dengan cara yang lebih konstruktif, bukan dengan hukuman.

Melalui Restitution dan pendekatannya yang berlandaskan teori Glasser, Gossen menekankan bahwa disiplin tidak perlu melibatkan hukuman atau ancaman, tetapi dapat dilakukan melalui penguatan positif dan perbaikan perilaku yang berasal dari kesadaran diri siswa. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip-prinsip disiplin positif yang mengedepankan pemahaman, pengertian, dan tanggung jawab.

Peran Guru BK dalam Mengimplementasikan Disiplin Positif

Guru BK memegang peran kunci dalam penerapan disiplin positif, terutama di sekolah-sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Sebagai profesional yang terlatih dalam konseling, guru BK memahami teori kontrol dan konseling realitas yang dikembangkan oleh William Glasser. Dengan pemahaman ini, guru BK bisa membantu siswa untuk mengatasi masalah perilaku dengan pendekatan yang lebih humanis dan mendidik, bukan dengan menghukum atau menakut-nakuti. Beberapa aktifitas yang bisa dilakukan oleh guru BK sesuai dengan kompetensi profesional yang dimiliki:

1.   Penguasaan terhadap konsep dan praksis asesmen untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli

Kompetensi ini memungkinkan guru BK melakukan asesmen diagnostik untuk mengenali kondisi, latar belakang, dan karakteristik setiap siswa. Guru BK dapat menggunakan instrumen yang sudah ada ataupun membuat instrumen sendiri untuk mengenali karakteristik dan kebutuhan siswa. Melalui kegiatan asesmen ini akan diperoleh data yang menyeluruh tentang siswa. Sehingga guru BK mampu merumuskan pendekatan yang lebih komprehensif dan pemahaman yang akurat tentang klien dan alasannya untuk memberikan layanan konseling (Drummond & Jones, 2010). Berkaitan dengan penerapan disiplin positif, setidaknya ada 3 informasi yang bisa didapatkan melalui asesmen, yaitu:

  • Perilaku siswa yang berpotensi mengganggu kedisiplinan, serta faktor-faktor yang memengaruhinya.
  • Kebutuhan dasar siswa, seperti kebutuhan akan rasa diterima, kekuatan, kebebasan, kesenangan, dan rasa aman.
  • Masalah emosional atau sosial yang mungkin mendasari perilaku siswa, seperti kecemasan, stres, atau masalah hubungan dengan teman sebaya.

Hasil asesmen ini memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang mungkin menjadi penyebab perilaku yang tidak diinginkan, sehingga guru BK dapat merancang pendekatan disiplin positif yang sesuai dengan kondisi setiap siswa.

 

2.   Penguasaan kerangka teoritik dan praksis bimbingan dan konseling

Penguasaan terhadap berbagai teori dan pendekatan konseling menjadi ciri khas pelayanan profesional guru BK. Tentu saja penguasaan teori itu diikuti dengan praktik penerapannya dalam membantu siswa menyelesaikan permasalahan. Berkaitan dengan implementasi disiplin positif, kompetensi ini fokus pada pelayanan responsif. Dalam BK komprehensif, layanan responsif ini dicontohkan seperti konseling (individu dan kelompok), konsultasi, kolaborasi, kunjungan rumah, dan alih tangan kasus (referral). Layanan peminatan dan perencanaan individual, dan dukungan sistem. Disiplin  positif  merupakan cara mendisiplinkan peserta didik dengan mengkomunikasikan tentang keyakinan  dan  konsekuensi  logis melalui   sikap   tanggung   jawab, empati,  dan sopan (Sumantri & Budimansyah, 2020). Pemilihan treatmen dalam menangani siswa yang melakukan pelanggaran disiplin ini harus memperhatikan hasil asesmen (kompetensi profesional nomor 1). Apabila guru BK belum memiliki data tentang anak, ia harus menemukannya terlebih dahulu, baik saat wawancara langsung maupun studi dokumentasi. Barulah kemudian menentukan strategi yang akan digunakan. Dengan cara demikian tidak akan mungkin guru BK memberikan hukuman terhadap siswa. Karena guru BK memiliki struktur kerja yang sistematis dan berdasarkan data empiris. Hal inilah yang diinginkan oleh pendekatan disiplin positif sebagai revolusi cara mendisiplinkan siswa di sekolah.

Lalu Bagaimana konseling realitas berpengaruh pada disiplin positif?

3.   Kemampuan Merancang Program Bimbingan dan Konseling

Indikator seorang guru BK dapat merancang program bimbingan dan konseling dengan baik adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis kebutuhan konseli, (2) Menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan, (3) Menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling, (4) Merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling. Dalam penerapan disiplin positif, kemampuan guru BK untuk menganalisis kebutuhan siswa serta memetakan kerawanan terjadinya perilaku indisipliner menjadi bahan preventif untuk meminimalisir pelanggaran atau bahkan mencegah terjadinya pelanggaran disiplin. Melalui berbagai topik pada layanan klasikal baik pada bidang pribadi, social, belajar dan karier, guru BK memiliki kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran intrinsik dalam berperilaku disiplin sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Sebagai contoh guru BK dapat memberikan layanan klasikal dengan tema menumbuhkan kesadaran diri, Membangun rasa tanggung jawab pribadi dan kelompok, Mengambil keputusan yang baik, Berkomunikasi secara efektif, Empati dan Rasa Hormat dan lain sebagainya.

 

Kesimpulan

Guru Bimbingan dan Konseling (BK) memainkan peran yang sangat penting dalam mengimplementasikan disiplin positif di sekolah. Dengan kompetensi profesional yang dimilikinya, guru BK tidak hanya bertugas sebagai konselor, tetapi juga sebagai fasilitator dalam menciptakan lingkungan yang mendukung pembentukan perilaku disiplin yang baik. Beberapa peran utama yang dapat dilakukan oleh guru BK dalam penerapan disiplin positif antara lain:

  1. Melakukan Asesmen untuk Memahami Kondisi dan Kebutuhan Siswa
    Guru BK menggunakan asesmen untuk mengenali kondisi, latar belakang, dan karakteristik siswa secara menyeluruh. Melalui asesmen ini, guru BK dapat mengidentifikasi perilaku yang berpotensi mengganggu kedisiplinan serta faktor-faktor yang memengaruhinya, seperti kebutuhan dasar siswa (misalnya rasa diterima, kekuatan, kebebasan) dan masalah emosional atau sosial yang mendasari perilaku tersebut. Dengan informasi yang akurat dari asesmen, guru BK dapat merancang pendekatan disiplin positif yang lebih tepat dan sesuai dengan kondisi masing-masing siswa.
  2. Menggunakan Kerangka Teoritis dan Praksis Bimbingan dan Konseling
    Penguasaan guru BK terhadap berbagai teori konseling, seperti konseling realitas, memungkinkan mereka untuk memberikan layanan konseling yang lebih responsif, baik secara individu maupun kelompok. Dengan menggunakan pendekatan disiplin positif, guru BK dapat mengkomunikasikan keyakinan dan konsekuensi logis melalui sikap tanggung jawab, empati, dan sopan. Ini memberikan siswa kesempatan untuk bertanggung jawab atas perilaku mereka, bukan melalui hukuman, melainkan melalui pemahaman dan pembelajaran.
  3. Merancang Program Bimbingan dan Konseling yang Komprehensif
    Guru BK juga berperan dalam merancang program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan dan berbasis pada kebutuhan siswa. Dengan menganalisis kebutuhan siswa dan memetakan potensi kerawanan terjadinya perilaku indisipliner, guru BK dapat mengembangkan program yang bersifat preventif untuk mencegah pelanggaran disiplin. Melalui layanan klasikal dengan topik-topik seperti kesadaran diri, tanggung jawab pribadi, pengambilan keputusan yang baik, dan komunikasi efektif, guru BK dapat menumbuhkan kesadaran intrinsik pada siswa untuk berperilaku disiplin.
  4. Menumbuhkan Kesadaran Intrinsik dalam Disiplin
    Guru BK memiliki kesempatan untuk menumbuhkan kesadaran intrinsik siswa mengenai pentingnya berperilaku disiplin sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Dengan menggunakan pendekatan yang lebih berbasis pada pemahaman dan refleksi diri, guru BK dapat membantu siswa untuk menginternalisasi nilai-nilai disiplin yang datang dari kesadaran dan tanggung jawab mereka sendiri, bukan karena rasa takut atau ancaman.

Secara keseluruhan, peran guru BK dalam mengimplementasikan disiplin positif sangat terkait dengan pemahaman mereka terhadap kebutuhan individu siswa, penggunaan teori konseling yang tepat, dan penerapan program-program bimbingan yang holistik dan preventif. Dengan pendekatan ini, guru BK dapat membantu siswa untuk mengembangkan perilaku disiplin yang sehat, berbasis pada kesadaran diri, pengambilan keputusan yang baik, serta tanggung jawab pribadi dan sosial. 

Atau kunjungi tulisan saya tentang ini di https://proceeding.unpkediri.ac.id/index.php/kkn/article/view/2979

Daftar Pustaka
  • Burden, P. (2013). Classroom management: Creating a successful K-12 learning community (5th ed.). United States, America: Courier Kendallville.
  • Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 Tanggal 11 Juni 2008.
  • Sumantri,  E.,  &  Budimansyah,  D. (2020).   Penerapan   Disiplin Positif   dalam   Mewujudkan Pendidikan  Anti  Kekerasan  di Sekolah. Jurnal Civicus, 20(1),4050.https://ejournal.upi.edu/index.php/civicus/article/view/16353/22643


Jumat, 29 November 2024

KOPI DEWA (AKSI KOLABORATIF KONSTRUKTIF GURU BK)



LATAR BELAKANG

Pendidikan yang optimal memerlukan sinergi antara sekolah dan keluarga. Namun, hasil temuan kunjungan rumah yang dilakukan oleh guru BK menunjukkan bahwa orang tua sering kali memiliki persepsi negatif tentang anak mereka. Dari kunjungan tersebut, terungkap bahwa komunikasi antara orang tua dan anak di rumah tidak berjalan dengan baik. Orang tua hampir tidak pernah membicarakan hal-hal terkait sekolah atau masa depan dengan anak mereka. Selain itu, saat berbicara mengenai anaknya, orang tua cenderung fokus pada keburukan perilaku anak, dan merasa sulit menemukan sisi positif. Hal ini berdampak pada hubungan emosional yang renggang antara orang tua dan anak, sehingga komunikasi menjadi tidak produktif dan anak pun merasa kurang mendapatkan dukungan di rumah. Fenomena yang demikian dipertegas dengan lingkungan tumbuh kembang anak yang mendorong untuk tidur larut malam dengan berbagai aktivitas seperti bermain game online, ngobrol dengan beragam topik bersama dengan orang yang lebih dewasa maupun rekannya yang sudah tidak sekolah, keluyuran dari satu angkringan ke angkringan lain serta beragam aktivitas yang tidak produktif lainnya. Sehingga inilah yang kemudian memunculkan permasalahan di sekolah. Anak sering datang terlambat, tidak fokus dalam mengikuti pembelajaran karena megantuk bahkan tertidur di kelas. Ada lagi anak yang berangkat sekolah namun tidak sampai di sekolah, bahkan tidak berangkat ke sekolah karena tidur akibat begadang semalaman. Permasalahan inilah yang kemudian menjadi perhatian guru-guru di sekolah dan menjadi alasan untuk dilakukan kunjungan rumah oleh guru BK sehingga memperoleh data seperti yang diuraikan di atas. 

Perilaku bermasalah yang ditunjukkan oleh siswa tersebut tidak lepas dari pola asuh dan gaya komunikasi yang kemudian membangun persepsi negatif orang tua ke anaknya. Ketahanan diri siswa tidak terbentuk dengan baik, sehingga mereka memunculkan perilaku negatif yang sebenarnya merugikan dirinya sediri. Hal ini merupakan sebuah tantangan bagaimana guru BK mampu memfasilitasi siswa untuk keluar dari kebiasaan buruk, disaat orang tua mereka merasa sudah tidak mampu mengarahkan anaknya.

AKSI

Langkah logis dalam memfasilitasi perubahan perilaku siswa dengan latar belakang tersebut diatas adalah Menyemai Komunitas Orang Tua Peduli Masa Depan Siswa (KOPI DEWA). Upaya menumbuhkan kolaborasi antara sekolah, orang tua dan siswa untuk memunculkan perilaku positif dalam perannya sebagai siswa di sekolah. Melalui fasilitasi dari guru BK, sekolah mengundang 8 orang tua dan juga putranya (kelas XII) dalam satu waktu. Dalam kegiatan juga melibatkan kepala sekolah dan wali kelas, kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan tersebut:


  1. Guru BK sebagai fasilitator membuka kegiatan dengan menyampaikan salam, mengucapkan terima kasih atas kehadiran, dan menyampaikan tujuan kegiatan, tujuan kegiatan diantaranya:
    • Orang tua memahami kondisi dan perkembangan juga prestasi anak di sekolah
    • Menumbuhkan keyakinan bersama untuk membantu anak-anaknya menyelesaikan pendidikan dengan baik.
  2. Sebagai fasilitator guru BK memohon kepada kepala sekolah yang dalam kegiatan diwakili oleh Wakil bidang kurikulum untuk memberikan pengantar. Dalam kesempatan ini wakil kepala sekolah menyampaikan tujuan dan visi sekolah yang kemudian dikaitkan dengan kondisi anak.
  3. Setelah itu, guru BK menampilkan hal-hal positif yang pernah dilakukan anak itu di sekolah, misalnya: meskipun jarang masuk, ternyata salah satu anak aktif sekali dalam kegiatan pramuka.
  4. Kemudian mengajak setiap orang tua untuk mencari kebiasaan dan hal-hal baik yang pernah dilakukan anaknya secara teratur dan konsisten selama di rumah. Secara bergantian sambal berfikir, satu per satu orang tua mengemukakan kebaikan-kebaikan yang dilakukan anaknya. Beberapa dari orang tua seakan-akan baru menyadari bahwa ternyata anak yang sering dipersepsikan negatif juga memiliki kebiasaan positif. Kebiasaan positif yang terungkap misalnya: cepat tanggap jika ada yang membutuhkan bantuan di lingkungan rumah, beberapa kali terlihat memberi uang saku ke adiknya dari uang yang didapatkannya bekerja.
  5. Orang tua saling bercerita kebaikan-kebaikan tersebut tepat di hadapan anaknya yang juga menyimak diskusi tersebut secara langsung.
  6. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menyampaikan apa yang dirasakan ketika mereka mendengar bahwa orang tuanya menceritakan kebaikan-kebaikan kecilnya kepada orang tua lainnya.
  7. Mengajak orang tua untuk membuat komitmen sebagai perwujudan bahwa mereka yakin akan hadir seutuhnya untuk membersamai agar mereka lulus SMA. (Form komitmen telah disiapkan)
  8. Menyampaikan rencana tindak lanjut, diantaranya:

    • saling memberikan informasi tentang perubahan perilaku anak
    • Menyampaikan tindakan kunjungan rumah berikutnya/berkala
  9. Mengakhiri pertemuan, menyampaikan apresiasi atas kehadiran dan kesediaan dengan ikhlas untuk mengikuti kegiatan dari awal hingga selesai.




REFLEKSI

Melalui KOPI DEWA, beberapa pembelajaran utama muncul sebagai refleksi penting yang dapat diterapkan untuk membangun sinergi antara sekolah, siswa, dan orang tua demi mendukung perkembangan positif anak di sekolah, diantaranya:

Kolaborasi dan Komitmen Bersama

Sinergi antara sekolah dan orang tua membantu siswa mengembangkan sikap positif dalam pendidikan, serta mendorong orang tua memahami peran penting mereka dalam mendukung anak di sekolah.

Pentingnya Perspektif Positif dan Dukungan Emosional

Dengan melihat sisi positif anak, orang tua membangun komunikasi yang lebih baik, sehingga anak merasa dihargai dan termotivasi untuk lebih bertanggung jawab.

Refleksi dan Tindak Lanjut yang Konsisten

Pertemuan berkala dan komunikasi berkelanjutan membantu memantau perkembangan siswa secara efektif dan memungkinkan dukungan cepat terhadap tantangan baru.

HASIL DAN DAMPAK

Kegiatan ini menjadi langkah penting dalam memperkuat dukungan untuk keberhasilan anak, melalui kolaborasi dan hubungan yang konstruktif antara sekolah, siswa, dan orang tua.

Tindak Lanjut Setelah Implementasi

Setelah kegiatan KOPI DEWA dilaksanakan, tindak lanjut dilakukan melalui monitoring berkala terhadap perkembangan siswa. Guru BK dan wali kelas secara rutin berkomunikasi dengan orang tua untuk melaporkan perubahan perilaku anak, seperti kedisiplinan dalam datang ke sekolah, peningkatan motivasi, dan perbaikan hubungan dengan orang tua. Kunjungan rumah juga dilanjutkan untuk memastikan ada dukungan yang terus-menerus bagi siswa di rumah.

Refleksi, Monitoring, dan Evaluasi

Refleksi dilakukan pada setiap pertemuan untuk mengevaluasi efektivitas kegiatan. Guru BK, orang tua, dan siswa bersama-sama merenungkan hasil yang dicapai dan hambatan yang ditemui. Monitoring dilakukan dengan mencatat kehadiran siswa, tingkat keterlibatan mereka dalam pembelajaran, dan perubahan perilaku. Evaluasi dilakukan di akhir periode tertentu untuk menilai apakah tujuan awal kegiatan, seperti meningkatkan kedisiplinan dan komunikasi positif antara orang tua dan anak, tercapai.

Proses Iterasi atau Perubahan Rencana

Jika diperlukan perubahan rencana atau iterasi, proses dilakukan dengan mengidentifikasi aspek yang kurang efektif selama implementasi awal, seperti kurangnya keterlibatan orang tua atau siswa yang belum menunjukkan perubahan signifikan. Perubahan dilakukan dengan menyesuaikan pendekatan komunikasi atau kegiatan, seperti memperdalam diskusi dengan orang tua mengenai masalah yang lebih spesifik atau memperkenalkan strategi belajar baru untuk siswa yang mengalami kesulitan. Iterasi dilakukan secara bertahap dengan melibatkan orang tua dan guru dalam menyusun solusi bersama.

Dampak Pertama Kali yang Dirasakan

Dampak pertama kali dirasakan oleh siswa, terutama dalam hal peningkatan rasa dihargai dan motivasi. Ketika orang tua mulai lebih mengapresiasi perilaku positif anak, hal ini meningkatkan rasa percaya diri siswa dan mendorong mereka untuk lebih disiplin dan fokus di sekolah.

Perubahan Sikap/Perilaku Sebelum dan Sesudah Praktik

Sebelum implementasi KOPI DEWA, siswa sering terlambat, tidak fokus, dan menunjukkan sikap apatis terhadap sekolah. Setelah kegiatan, banyak siswa yang menunjukkan perubahan signifikan, seperti mulai datang tepat waktu, lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran, dan menunjukkan sikap yang lebih terbuka terhadap orang tua. Orang tua juga menunjukkan perubahan sikap, dari yang awalnya fokus pada kekurangan anak, menjadi lebih menghargai dan mengapresiasi kebiasaan positif anak mereka. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan saling mendukung antara orang tua dan siswa.


TIPS DARI SAYA

Beberapa hal yang dapat mempermudah pelaksanaan praktik baik Komunitas Orang Tua Peduli Masa Depan Siswa (KOPI DEWA) adalah:

  • Komunikasi yang Jelas dan Terbuka, membuka saluran komunikasi yang jujur dan terbuka antara sekolah dan orang tua sejak awal sangat penting. Menyampaikan tujuan kegiatan dengan jelas dan menjelaskan manfaat bagi siswa dan orang tua akan membantu mendapatkan dukungan dan partisipasi aktif dari orang tua. Menggunakan media komunikasi yang efektif seperti grup WhatsApp atau email juga dapat mempercepat proses informasi.
  • Keterlibatan Kepala Sekolah dan Wali Kelas, dukungan penuh dari kepala sekolah dan wali kelas menjadi faktor penting dalam kelancaran kegiatan. Kehadiran kepala sekolah atau perwakilan manajemen sekolah memberi legitimasi kepada kegiatan ini, sementara wali kelas berperan langsung dalam memantau perkembangan siswa dan melaporkan hasil pertemuan kepada orang tua.
  • Menciptakan Suasana yang Akrab dan Mendukung, memastikan bahwa pertemuan antara guru, orang tua, dan siswa berlangsung dalam suasana yang nyaman dan saling mendukung akan membuka lebih banyak ruang untuk komunikasi yang produktif. Hal ini membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan kepercayaan antar pihak yang terlibat.