Paradigma Stimulus Respon Versus Teori Kontrol
Ketika mempelajari paradigma stimulus respon versus teori kontrol, mengajak kita untuk kembali mengingat teori clasical conditioning (behavior) yang dipopulerkan oleh Ivan Pavlov dan juga Watson. Perubahan perilaku terbentuk sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Munculnya perilaku baru siswa merupakan hasil interaksi stimulus dan respon. Bahkan pemberian stimulus akan mampu memperkuat perilaku tersebut. Pada bagian ini, teori stimulus respon dihadapkan dengan teori kontrol. Teori kontrol sendiri merupakan konsep teori yang dipopulerkan oleh William Glasser (bapaknya konseling realitas). Berbeda dengan konsep stimulus respon, perilaku dan kondisi seorang individu sangat dipengaruhi oleh tingkat keterpenuhan kebutuhan dasar yang dimiliki manusia. Dalam konsep realitas dimunculkan lima kebutuhan psikologis dasar manusia, diantaranya power, love and belonging, freedom, fun dan survival (Glasser, 1990). Melalui teori kontrol, Glasser berusaha menawarkan pandangan tentang dunia yang lebih mengakui keberagaman kondisi manusia.
Keyakinan kelas, untuk mewujudkan self discipline dengan efektif, pengakuan terhadap harga diri dan nilai-nilai yang dimiliki individu harus dikedepankan. Keyakinan-keyakinan inilah sebagai perwujudan nilai-nilai positif yang bersifat universal dan tidak terikat oleh latarbelakang atau entitas tertentu. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Keyakinan kelas ini disusun berdasarkan nilai-nilai positif dengan memperhatikan: 1) Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit; 2) Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal; 3) Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif; 4) Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas; 5) Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut; 6) Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat; 7) Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
Restitusi, dalam KBBI restitusi diartikan "ganti kerugian", namun dalam disiplin positif, kata restitusi memiliki makna mengganti perilaku dengan mengkompromikan nilai-nilai yang dianut oleh siswa. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).
Restitusi adalah upaya kuratif yang dilakukan guru terhadap siswa yang melakukan perilaku negatif di sekolah. Penanganan perilaku menyimpang tersebut tentu saja dengan mengutamakan nilai-nilai yang dimiliki siswa tersebut dan yang telah menjadi keyakinan sebelum perilaku menyimpang itu muncul.
Bagaimana restitusi diterapkan?
Segitiga Restitusi |
Segitiga Restitusi, merupakan tahapan yang ditawarkan oleh Dianne Gossen dalam menerapkan disiplin positif. Tahapan yang bisa dilakukan untuk melakukan resitusi diantaranya: 1) Menstabilkan identitas, Bagian dasar segitiga, merupakan upaya mengubah identitas anak dari orang yang gagal karena melakukan kesalahan menjadi orang yang sukses; 2) Validasi tindakan yang salah, merupakan upaya untuk mengenali motivasi munculnya perilaku bermasalah dan sebagai pendorong murid untuk lebih terbuka tentang dirinya; 3) Menanyakan keyakinan, mengingatkan kembali terhadap keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh siswa sebagai upaya mengambil solusi penanganan yang tetap menghargai nilai-nilai yang dimiliki siswa untuk mengembangkan perilaku positif ataupun perilaku yang seharusnya dilakukan.
Aksi nyata yang dilakukan berkaitan dengan upaya menumbuhkan budaya positif.
- Melaksanakan layanan konseling dengan pendekatan realitas sebagai wujud aksi nyata konsep teori kontrol William Glaseer.
- Berlatih menyusun keyakinan kelas yang berpusat pada nilai-nilai positif yang dimiliki oleh siswa.
- Melaksanakan deseminasi pengetahuan dan pengalaman dalam forum MGBK SMA Ponorogo
- Menjadi pemateri dalam In House Training di sekolah dengan tema Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila melalui Pengembangan Budaya Positif di Sekolah (Analisis Filosofi Ki Hajar Dewantara, Identifikasi Peran Guru, Menyusun Keyakinan Kelas dan Kreasi Animasi Berkarakter)
0 komentar:
Posting Komentar